PENDIDIKAN-Belakangan ini, kita mendengar berita tentang seorang guru yang memukul muridnya. Tindakan ini sontak menjadi buah bibir, menghimpun banyak reaksi dari masyarakat. Tentu, kekerasan fisik dalam dunia pendidikan bukanlah metode yang dapat dibenarkan. Kita semua sepakat bahwa sekolah adalah tempat menimba ilmu, bukan ajang balas dendam atau ajang melampiaskan emosi. Namun, di balik segala hujatan yang tertuju pada sang guru, ada satu aspek yang sering kita lupakan akar dari semua persoalan ini, yaitu pendidikan di rumah.
Fenomena anak yang bersikap tidak sopan dan kurang etika sering kali bukan karena kesalahan dari sistem pendidikan formal atau guru yang mendidiknya, melainkan karena kurangnya pembinaan dari orang tua di rumah. Mari kita jujur pada diri kita sendiri, Apakah betul bahwa tanggung jawab sepenuhnya ada pada guru ketika seorang anak mulai menunjukkan perilaku yang tidak pantas? Atau, mungkin yang lebih layak mendapat sorotan adalah orang tua dari si anak? Bukankah keluarga merupakan tempat pendidikan yang paling awal dan utama?
Jika kita telaah, banyak dari kita tumbuh dari keluarga yang sederhana, mungkin orang tua kita hanya seorang petani atau pedagang kecil. Meskipun demikian, mereka mampu mendidik kita menjadi pribadi yang santun dan menghargai orang lain. Kita diajarkan untuk hormat kepada guru, memahami nilai-nilai kesopanan, dan menjaga etika dalam bergaul. Ironisnya, kini banyak anak dari keluarga yang tergolong mapan dengan orang tua berpendidikan tinggi, namun perilaku anak-anak mereka tidak mencerminkan nilai yang baik. Bukankah ini menjadi tanda bahwa permasalahan yang kita hadapi bukan sekadar soal pendidikan formal, tetapi lebih kepada abainya peran keluarga?
Mungkin sudah saatnya kita sebagai masyarakat berani untuk menegur, bahkan menuntut pertanggungjawaban dari para orang tua yang abai dalam mendidik anak-anak mereka. Bagaimana jika kita menerapkan hukuman sosial kepada orang tua yang gagal mengasuh anak mereka dengan baik? Misalnya, sekolah dapat menolak anak-anak dari orang tua yang tidak bertanggung jawab hingga mereka berani meminta maaf secara publik dan bersedia memperbaiki pola asuh. Ini bukan untuk mendiskriminasi, melainkan agar ada efek jera bagi orang tua yang mengabaikan nilai-nilai pendidikan di rumah.
Ada pula orang tua yang dengan mudahnya melaporkan guru ke pihak berwenang hanya karena guru tersebut mencoba menegakkan disiplin pada anaknya yang bertindak kurang ajar. Apakah ini adil? Tindakan ini seolah mengirim pesan bahwa guru yang berusaha memperbaiki sikap anak mereka justru dianggap salah. Padahal, guru berperan sebagai pengganti orang tua di sekolah, dan upaya mereka menegakkan kedisiplinan seharusnya dilihat sebagai bentuk kepedulian. Jika kita tidak mendukung guru yang berdedikasi pada pendidikan karakter, maka siapa lagi yang akan melakukannya?
Sejatinya, jika kita mau bicara soal generasi penerus bangsa, maka semua pihak harus memikul tanggung jawab bersama. Perbaikan akhlak dan etika generasi muda bukan semata-mata tugas guru di sekolah, tetapi juga tanggung jawab utama keluarga.
Jakarta, 29 Oktober 2024
Hidayat Kampai
Auditor Indonesia