Updates
Updates
  • May 19, 2022
  • 1169

Yulizal Yunus: KAN Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Adat, Bukan Bagian Struktural LKAAM

PADANG - Surat Edaran LKAAM Sumatera Barat Nomor : 01/LKAAM-SB/2022 Padang, 13 Maret 2022, dinilai dari sudut pandang sosio-historis, sudah meletakkan LKAAM kembali pada posisi yang sebenarnya. Hebat Ketua Umum (Ketum) Dr. Fauzi Bahar Dt. Nan Sati dan Sekretaris Umum (Sekum) Drs. Jasman Rizal Dt. Bandaro Bendang, sebagai refresentasi pucuk pimpinan LKAAM Sumatera Barat itu. 

Justru Ketum dan Sekum dalam dalam Surat Edaran tadi itu, menempatkan pula KAN sebagai Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) Adat yang kukuh dan otonom di nagari, tak boleh dicampuri LKAAM sebagai ormas adat. Ditegaskan Edaran, bahwa “… diminta kepada LKAAM Kabupaten/ Kota dan Kecamatan agar tidak mencampuri masalah internal KAN di wilayahnya masing-masing”. 

Ditegaskan juga bahwa, “hubungan LKAAM dengan KAN lebih bersifat koordinatif (juga konsultatif, pen) dan fungsional”. “KAN bukanlah bahagian secara struktural dari LKAAM, karena sejarah berdirinya, tugas pokoknya, kewenangannya sangat tegas berbeda. Artinya, LKAAM dan KAN adalah dua organisasi yang berbeda namun secara fungsional saling menopang…”.

Ketum dan Sekum LKAAM Arif, Tak Campuri Internal KAN

Ketum dan Sekum dengan Edaran LKAAM itu arif dengan perkembangan serta menyimak pengalaman ironis dalam perjalanan LKAAM beberapa periodenya selama ini. LKAAM telah cidera tanpa disadari sebagian personalnya. Pertama tak disukai karena memaksa (salah kamar) masuk ke bilik internal Kerapatan Adat Nagari (KAN) sebagai LSM adat yang satu-satunya kukuh di nagari. 

Kedua dengan dimasuki LKAAM, dengan tekanan, memaksa mengebawahkan KAN sebagai urat tunggang, maka sebagian KAN secara psikologis merasa ditakut-takuti, dan menimbulkan was-was, bahwa pengurusnya tidak sah, kalau tidak di-SK-kan LKAAM. Padahal, KAN sudah kukuh dengan musyawarahnya di nagari dan tak boleh dicampuri internalnya oleh organiasi mana pun termasuk oleh LKAAM.

LKAAM 1994 Akui KAN Independen dan Kekuasaan Tertinggi pada Musyawarahnya 

Justru, sudah diakui LKAAM, bahwa “kekuasaan tertinggi KAN berada pada pada musyawarah KAN itu sepanjang adat yang berlaku pada setiap Nagari”. Lihat amanat AD LKAAM Sumatera Barat, 16 Nopember 1994: Ps 15 ayat 1a).

“LKAAM adalah wadah koordinasi KAN tempat berhimpunnya ninik mamak nan-4 jinih dan jinih nan-4 yang bersifat independen dan netral” (Lihat AD LKAAM Sumatera Barat, 7 Juni 2010 : Bab II, Ps.5). Artinya, sudah diakui KAN itu independen dan netral, tak boleh dicampurni organisasional kelembagaannya oleh para pihak aktor pembangunan supra/inpra struktur politik, ormas dan pemerintah.

Karenanya KAN tak harus dipaksa menjadi struktur bawah sebagai “urat tunggang dari LKAAM”. Pemaksaan ini lebih terasa dipaksakan dalam AD LKAAM Sumatera Barat yang disiapkan 7 orang tim peneliti AD/ART untuk dinotariskan Notaris, Pariangan, 30 Oktober 2017, Bab VI, Ps.13 ayat 3. Kalau berpatok pada “AD LKAAM yang ini”, akan menggiring pendapat bahwa LKAAM, pondasi sejarah awalnya 1966 sudah dibongkar bersama bangunan lamanya, dan seolah LKAAM itu baru berdiri di Pariangan 30 Oktober 2017, seiring upaya mengaktanotariskannya yang pada gilirannya tak bisa mendapatkan SK Menkumham RI. Betapa berat perjuangan pengurus baru sekarang. 

Disadari, urat tunggang itu tadi secara organisasional artinya struktur bawah. Padahal dua kelembagaan adat LKAAM dan KAN ini beda seperti ditegaskan kembali dalam Edaran LKAAM tadi. Karena secara historis, kehadiran ninik mamak datuk penghulu dalam LKAAM di awal berdiri, tidak atas nama lembaga KAN, tetapi kesadaran sejumlah personal ninik mamak yang mempunyai kepedulian yang sama, soal pemajuan adat, dipasilitasi pemerintah, arahnya bagaimana secara organiastoris kemasyarakatan adat, dapat menyatukan aspirasi pemangku adat datuk penghulu untuk mendukung orde baru.

Karenanya bentuk organisasi LKAAM itu jelas sebagai Ormas Adat, tumbuh atas kesepakatan sejumlah personal datuk penghulu di tingkat Provinsi, dan ormasnya terstruktur hingga kecamatan, jelas dilatari kepentingan politik bahkan untuk organisasi politik tertentu (baca juga fakta Rumusan Hasil Mubes Luar Biasa LKAAM, 7 April 1977:4, khusus kebulatan tekad Ninik Mamak se Sumatera Barat adalah Golongan Karya Adat Minangkabau… siap menyukseskan Pemilu 1997 dan SU MPR RI 1988 dengan memenangkan kepemimpinan Nasional tetap di tangan Order Baru).

Bagaimanapun kalau Ormas, mesti tunduk kepada UU Keormasan. Ormas, karenanya, bagaimana pula boleh mencampuri organisasional LSM Adat seperti KAN yang seperti dua sisi mata uang dalam urusan pemerintahan dan urusan adat di nagari. 

KAN - Wali Nagari bersifat Konsultatif dan KAN - Gubernur Hubungan Bantuan    

Sebagai LSM Adat, sejarah KAN tumbuh besar “dikukuhkan sebagai organisasi adat satu-satunya di nagari”. Wacana ini dapat dibaca Perda 13/1983, Bab III Ps.4:1, yang sudah dinyatakan tak berlaku lagi, tetapi tetap jiwa dan semangatnya menjadi amanat sejarah mengantarkan berdirinya KAN, yang dilatari kekhawatiran adat tak terpasiliasi dan tak terurus di nagari). Justru ketika itu 1983 Kades seperti juga sekarang pemerintah (wali) nagari hanya menyelenggarakan satu kewenangan saja yakni urusan umum pemerintah saja, sedangkan urusan adat tidak seperti diatur peratuan perundang-undangan yang ada. 

KAN justru khusus didirikan untuk membina dan mengkoordinasikan Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang kekuatannya pada Limbago Adat mulai dari Limbago Kaum, serta mengurus (memfasilitasi) segala yang berkaitan dengan adat di nagari. Informasi ini dapat dicermati dalam Amanat Sejarah KAN, 1983 Bab IV, Ps.1a, f. Semangatnya adalah, agar adat dapat dijalankan dengan baik oleh “limbago adat sebagai pemilik adat itu sendiri”. 

Jadi KAN sebenarnya dua sisi mata uang dengan pemerintahan desa dulu atau wali nagari kini. Pemerintahan menyelenggarakan kewenangan urusan umum pemerintahan di nagari, sedangkan KAN menyelenggarakan kewenangan urusan-urusan adat dan MHA-nya yang kekuatannya pada “Limbago Adat sipemilik adat”. Bedanya wali nagari dianggarkan, sedangkan KAN tidak dianggarkan. Dari sisi ini betapa tidak penting KAN berhak diperjuangkan mendapat penganggaran APBD/ APBN, kalau mau adil.

KAN itu pun otonom dan satu-satunya LSM Adat yang dikukuhkan di nagari sebagai forum tempat berhimpun datuk penghulu dari “unsur limbago adat berbasis perwakilan suku”. Karenanya KAN secara kelembagaan tak boleh dimasuki oleh para pihak manapun termasuk oleh LKAAM. KAN tak ada atasannya dan tak ada bawahannya. Paling KAN sebagai lembaga/ organisasi adat di nagari, bersinergi dengan Limbago Adat “pemilik adat”. SK pengurus KAN itu sudah kukuh dengan musyawarahnya di nagari. Pengukuhan pengurusan KAN dengan musyawarahnya itu sudah mendapat pengakuan LKAAM sebelumnya seperti dituangkan pada AD LKAAM 1994, yakni keputusan tertinggi KAN itu adalah keputusan musyawarahnya di nagari dengan quorumnya perwakilan dari limbago suku-suku di nagari.

Di Nagari sekalipun diperlukan pembinaan dan hubungan kerja KAN, dengan kades/ (wali nagari, pen) pun ditegaskan seperti dalam Amanat Sejarah KAN 1983 (Bab V, Bag-2, 11:1) diekplisitkan hubungannya KAN dengan Kades/ Wali Nagari hanya sebatas hubungan bersifat “konsultatif”. Hebatnya, dalam konteks pembinaan dan hubungan kerja KAN, dieksplisitkan pembinaan dan hubungan kerja KAN dengan Gubernur, bahwa pembinaan dan hubungan kerja KAN dengan Gubernur, dilakukan oleh Gubernur dalam bentuk pengarahan/ petunjuk baik secara lisan maupun secara tertulis, serta pemberian bantuan-bantuan dan sumbangan-sumbangan lainnya (baca dalam amanat sejarah berdiri KAN, 1983 Bab V Bag-1, Ps.10:a-b).

Tegas sekali dalam amanat sejarah berdirinya KAN 1983, tak sepatahpun menyebut kata LKAAM. Karenanya, menjadi pertanyaan dari mana datangnya KAN itu dipaksa menjadi urat tunggang LKAAM. Kalau datangnya dari AD/ ART LKAAM sesudah AD tahun 1994 dan tahun 2010, itu namanya dipaksa dari atas, oleh mau-maunya sementara/ sebagian pengurus, seperti melupakan sejarahnya. Dipaksa dari atas itu namanya “turun dari atas” (tuntas), tanpa mengerti perasaan KAN itu sendiri yang sudah tak nyaman dengan kata “urat tunggang” itu. Manggaduah KAN itu namanya. Karenanya, betul dan cerdas sekali Ketum dan Sekum dalam visi maju ke depan, mengembali KAN dan LKAAM ke khittahnya masing-masing. Ketum dan Sekum sebagai refresentasi pengurus, tidak ingin lagi LKAAM mencampuri urusan KAN. 

Campuri Internal KAN, Timbul Boom Sengketa KAN Dualisme 

Betapa visi kedepan hebatnya Ketum dan Sekum LKAAM sekarang, nalurinya bekerja bahwa kalau dicampuri juga urusan internal organisasional LSM Adat KAN itu oleh LKAAM, maka selain menciderai ormas LKAAM ini sendiri, juga sudah/ dan akan terus menjadi boom sengketa bagi KAN. Fakta itu terlihat dalam beberapa periode LKAAM sebelumnya yang memasuki internal KAN yang menimbulkan sengketa itu di beberapa nagari di kabupaten/ kota. Di antaranya sengketa pertama membuat marah KAN kepada LKAAM karena dipaksa dikebawahkan menjadi urat tunggang yang tidak berakar pada sejarah.

Sengketa kedua, KAN menjadi terpecah seperti terlihat di banyak kasus di nagari-nagari, yakni muncul fenomena dualisme KAN, yakni (1) KAN status quo, yang eksis sejak lama tumbuh dan sudah kukuh dengan musyawaranya di nagari, dan (2) timbul KAN baru quovadis (hendak kemana) sebagai tandingan KAN yang ada dan sudah kukuh dengan musyawarahnya. KAN versi tandingan itu yang secara faktual wujudnya dalam bentuk KAN yang dipaksakan oleh sementara pengurus LKAAM periode sebelum ini, bentuknya versi KAN ber-SK LKAAM. Kalau situasi KAN seperti fenomena ini terbelah dualisme oleh kepentingan pihak luarnya, bagaimana cukup kuat pula KAN itu melaksanakan peradilan hukum adat dalam sengketa adat yang tiada putus ke arah perdamaian adat, sedangkan kelembagaan adat itu sendiri bersengketa dualisme yang tidak tentu muaranya.

Fenomena ini membuat pusing cucu kamanakan di nagari dan pemerintah dalam turut memberi pembinaan dan memperkuat hubungan kerja dalam urusan adat seperti dijanjikan amanat sejarah 1983 berdirinya KAN, sebagai dua sisi mata uang dengan pemerintahan nagari. Karenanya sebagai bagian kewaspadaan dini masyarakat Sumatera Barat, mari kita besarkan LKAAM tanpa harus memaksa KAN menjadi urat tunggang, yang struktur itu tanpa disadari turut memberi tekanan psikologis kepada KAN itu sendiri dan tagaduah dan membawa tergantungan ke pada pihak yang pada tempatnya. 

Kita yakin LKAAM itu besar dengan komitmen kuatnya melaksanakan program unggulannya. Jangan takut pula LKAAM tidak akan besar kalau KAN tidak menjadi urat tunggangnya. Justru LKAAM itu telah besar dengan struktur ormasnya sampai ke Kecamatan. Tak perlu pula “diawai” sturktur KAN itu, apalagi memaksanya menjadi urat tunggang.

Program LKAAM Perjuangkan APBD dan Automoney dan Kuatkan KAN

Saya kira KAN itu boleh diawai LKAAM, selama tidak menyangkut struktur atas bawah. Boleh diawai KAN oleh LKAAM dalam hubungan koordinatif dan konsultatif funsional, sekali lagi tidak dalam bentuk hubungan paksaan sebagai urat tunggang itu. Artinya LKAAM secara profesional dapat mengembangkan program koordinasi dan konsultasi untuk membantu KAN. Pertama program bantuan penguatan KAN dan mefasilitasinya untuk dapat berfungsi, menjadi organisasi dan atau lembaga sosial masyarakat adat yang satu-satunya kukuh di nagari dalam kerangka tugas membesarkan “limbago adat sebagai pemilik adat itu sendiri” di nagari-nagari. 

Kedua LKAAM secara strategis bersama para pihak aktor pembangunan, dapat berada di garda terdepan mengkomunikasikan dan memperjuangkan KAN ke Pemdaprov dan DPRD. Inti perjuangan LKAAM itu, agar KAN itu di-APBD-kan dan atau automoney (keuangan sendiri) dalam pemerintahan nagari seperti janji LKAAM dituangkan dalam Himpunan Ketetapan Mubes ke-8 LKAAM tentang Pernyataan Sikap LKAAM Kembali ke Sistem Pemerintahan Nagari (4 Desember 1999:57). Justru KAN sebagai lembaga sosial adat satu-satunya yang dikukuhkan di nagari (tak ada LAD lain selain KAN di Sumatera Barat), adalah semestinya mendapat penganggaran, dalam mengurus masyarakat aadat dan adat mereka dengan mempasilitasi limbago adat mulai dari kaum suku-suku di nagari. 

Alasannya, justru tupoksi KAN itu dalam urusan pemajuan adat dan pemberdayaan MHA (Masyarakat Hukum Adat) di nagari, tak kurang beratnya dengan tupoksi dan kewenganan Pemerintahan Nagari dalam menyelenggarakan urusan-urusan umum pemerintahan. KAN dan Pemerintahan Nagari dua sisi mata uang secara historis dan kenyataan tupoksi. 

Artinya tupoksi sudah berbagi dalam amanat sejarah KAN tadi yakni antara kepala desa/ wali nagari dengan KAN. Wali Nagari mengurus urusan pemerintah dan KAN mengurus urusan masyarakat adat. Adilnya sama-sama dianggarkan, Wali Nagari dianggarkan dan KAN dianggarkan, seperti diisyaratkan Perdaprov 7/2018 sebagai penyambung amanat UU No.6/2014. Keadilan dalam penganggaran ini, yang mesti oleh LKAAM bersama para pihak aktor pembangunan, memperjuangkan KAN itu sampai dianggarkan dengan APBD/ APBN seperti pemerintahan nagari yang dianggarkan. 

Juga LKAAM adalah penting memprogramkan melakukan pendampingan pada tahap pemberian konsultasi kebijakan (regulasi). Pendampingan itu diharapkan dapat menguatkan fungsi KAN itu sebagai forum tempat berhimpun Datuk Penghulu dari unsur limbago adat, dalam tujuan memberi penguatannya dalam memfasilitasi membesarkan limbago adat itu mulai dari “limbago kaum si pemilik hak-hak tradisional sesuai hak-hak asal usulnya yang dijamin UUD NRI Tahun 1945” itu. 

Ayo Kita Besarmajukan LKAAM dengan Programnya

Ayo, mari kita besarkan LKAAM dengan fungsi, peran dan program unggulannya, tanpa harus mengebawahkan KAN sebagai “urat tunggang”. Fokusnya LKAAM dapat  memfasilitasi perjuangan dengan konsultasi regulasi serta perjuangan agar KAN itu mendapat penganggaran. 

Artinya, harapan perjuangan, agar KAN ini dengan penganggaran akan kuat dalam tugas membersarkan limbago adat. Juga KAN sebagai wada konsultatif Wali Nagari, punya kekuatan dalam mengimplementasikan nilai-nilai adat menjadi based penyelenggaraan pemerintahan nagari balik beradat seperti tuntutan UU 6/2014 tentang desa, khususnya di bagian pilihan desa adat.***

Penulis :
Bagikan :

Berita terkait

MENU