JAKARTA - Produk legislasi yang mana saja yang telah diproduksi oleh pembentuk UU - dalam hal ini legislatif dan eksekutif selama era reformasi yang sudah berjalan 24 tahun - yang dapat disepakati sebagai produk yang demokratis. Dalam pengertian telah memenuhi aspek partispasi proaktif dari publik? Belakangan ini muncul pertanyaan besar ini: dari publik, oleh publik dan untuk publik.
Pertanyaan yang mengandung kecemasan kolektif dari ranah masyarakat sipil (civil society) bukan tanpa alasan. Karena telah menjadi penyebab laten kasus disharmoni di dalam ritme kehidupan politik. Sederatan regulasi - yang kini berlaku dan diperlakukan pemerintah mengatur tata kehidupan berbangsa dan bernegara - yang dinilai mengandung “cacat bawaan”. Sebutlah - yang lagi trending topic saat ini – diskursus pro kontra ancang-ancang pengesahan RKUHP (Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana).
RKUHP itu sedang berada dalam kondisi tarik ulur: antara pembentuk undang-undang dengan kalangan masyarakat sipil. Ditengarai bermuatan besaran bobot pemaksaaan dengan melalui prosedur dan proses gelap demokrasi. Alias tidak demokratis. Suatu reproduksi penyimpangan koridor sebagaimana yang menimpa beberapa UU strategis pendahulunya.
Proses sejarah disharmoni revisi UU KPK dan UU Cipta Kerja sampai sekarang dirasakan publik menggoreskan memori kolektif yang destruktif. Fakta realitas kelam menyertai riwayat kelahiran keduanya. Cacat prosedural alias penafian aspirasi publik terus disoal. Penafian aspirasi publik yang terjadi itu, bukan sekedar publik opini alias suara “man on the street”. Peneguhan anti demokrastis itu ditemukan pada Keputusan MK (Mahkamah Konstitusi) tentang UU Cipta Kerja yang menggolongkannya: ‘inskonstitusional bersyarat!”
Upaya uji coba pelestarian terobosan terabasan jalur cacat prosedural masih terus berlanjut. Ada upaya melembagakan menjadi perangkat instrumen ekstra duet maut eksekutif – legislatif.
Keduanya segendang dan sepenarian. Ibarat serupa tapi tak sama. Superaktif memproduksi regulasi demi regulasi nir paritispasi publik. Jamak disebut sebagai regulasi ugal-ugalan. Berbekal narasi klise: partispasi publik telah dilibatkan. Menggunakan nomor bukti absensi tumpukan nama pakar lintas ilmu. Dengan sederet gelar akademik yang wah..
Persoalan kemudian muncul. Semakin ruwet. Terkait perbedaan cara pandang asimetris.
Baca juga:
Tony Rosyid: Anies Menguat, Semua Merapat
|
Tentang, apa itu partisipasi publik dari kacamata pembentuk undang-undang versus sudut pandang dari kacamata masyarakat sipil. Pembentuk undang-undang menggunakan senjata kuantitas berbasis data dan fakta absensi. Kelompok masyarakat sipil bertahan pada keutamaaan dimensi kualitatif dan kedalaman substansi. Sejumlah pakar memang dilibatkan. Namun, hasil akhir menunjukkan keputusan final tetap saja didominasi kepentingan pembentuk undang – undang.
Tindakan berani bercampur nekat pembentuk undang – undang itu, menimbulkan rasa curiga masyarakat. Berbagai analisis dan pengkajian menuduh duet maut pembentuk undang - undang itu sepertinya menyimpan “hidden agenda” (agenda tersembunyi). Berbau, ada aroma maksud – maksud tertentu bergeser kepada penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Paling tidak mengulur minimal menghasilkan keputusan: masa kerja kekuasaan sampai dengan tahun 2027.
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menegaskan pada periode 2019-2024 ini lembaga yang ia pimpin tidak melakukan amendemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945 terkait Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Menurut Bamsoet, sapaan akrab Bambang Soesatyo, MPR RI tidak akan melakukan amendemen karena upaya untuk menghadirkan PPHN tersebut sulit direalisasikan.
“Menghadirkan PPHN melalui ketetapan MPR RI dengan perubahan terbatas UUD 1945 atau amendemen yang selama ini dicurigai, ditunggangi dan lain seterusnya apakah untuk perubahan masa jabatan presiden atau apalah dan sebagainya. Saat ini sulit untuk kita realisasikan. Itu jadi keputusan pimpinan MPR dengan diterimanya laporan Badan Pengkajian", kata Bamsoet usai MPR RI menggelar rapat gabungan dengan Badan Kajian MPR di Kompleks Parlemen, Jakarta (07/07/2022).
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menjelaskan, untuk menghadirkan PPHN tanpa amendemen memerlukan jalan lain. Pasalnya, kata dia kurang tepat jika PPHN diatur dalam sebuah undang-undang. Oleh karena itu MPR berencana akan menggelar konvensi ketatanegaraan, dan nanti akan ada panitia ad hoc sebelum disahkan pada rapat paripurna 16 Agustus 2022.
Pengakuan Ketua MPR RI menegaskan memang telah terjadi berbagai upaya untuk mendorong terjadinya amandemen UUD 1945 yang dilabeli dengan istilah “terbatas”. Dikatakan, hanya untuk membuka ruang masuknya pasal GBHN. Yang diperlukan untuk memberikan koridor keberadaan suatu program pembangunan nasional. Agar supaya dapat berdurasi panjang. Bertujuan memelihara terus kesinambungan semangat program pembangunan nasional. Sebabnya, tanpa GBHN sebagai pengikat dipastikan yang akan terjadi setiap ganti presiden, niscaya program ikut berganti sesuai dengan selera presiden terpilih.
Masih melekat luka jiwa publik yang menderita trauma membaca keputusan Majelis Hakim Konstitusi yang tersebar luas di ruang publik melalui aneka media: Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) adalah cacat formil, dengan begitu UU Cipta Kerja dinyatakan “inkonstitusional bersyarat”. Dalam Putusan yang tertera pada nomor 91/PUU-XVIII/2020, Ketua MK Anwar Usman pada sidang putusan tanggal 25/11/2021, mengabulkan untuk sebagian permohonan pemohon.
Ketua MK menegaskan, ”pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai ‘tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan. UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini. ”Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen”.
Penegasan Hakim MK yang menyebutkan, ”pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945”, adalah sebuah cacat demokrasi yang sangat fatal. Sekaligus ademokrastis dan asimetris dengan cita-cita tokoh pejuang bangsa. Frasa ‘inkonstitusional bersyarat!” adalah sebuah penegasan, bahwa sesungguhnya proses demokratisasi telah tersesat di jalan yang terang. Justru di tangan para pendekar konstitusi yang lahir dari rahim reformasi.
Zainal Bintang
Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Sosial budaya