Hendri Kampai: Kunci Utama Pembangunan Indonesia adalah Menghapus Budaya Korupsi dari Bumi Pertiwi

    Hendri Kampai: Kunci Utama Pembangunan Indonesia adalah Menghapus Budaya Korupsi dari Bumi Pertiwi

    PEMERINTAHAN - Mari kita mulai dengan sebuah kenyataan pahit yang sering kali kita dengar namun sulit untuk kita terima—korupsi adalah kanker yang menggerogoti sendi-sendi pembangunan bangsa. Tidak peduli seberapa cemerlang strategi pembangunan yang dirancang, seberapa besar anggaran yang digelontorkan, atau seberapa keras usaha yang dilakukan, selama budaya korupsi masih bercokol, semua itu hanya akan berakhir sia-sia.

    Korupsi bukan hanya tentang uang yang dicuri, tapi juga tentang kepercayaan yang dirampas dari rakyat. Bayangkan, setiap rupiah yang hilang karena korupsi adalah potongan masa depan yang dicuri dari generasi berikutnya. Jalan yang rusak, sekolah yang tak layak, rumah sakit tanpa fasilitas memadai—semua ini adalah jejak nyata dari budaya korupsi yang terus dibiarkan.

    Namun, apakah budaya korupsi ini tidak bisa dihapuskan? Tentu saja bisa. Seperti pohon yang tumbuh liar, akar korupsi harus dicabut dari tanahnya. Dan ini harus dimulai dari atas—dari para pemimpin, elit politik, dan penegak hukum. Karena bagaimana bisa rakyat percaya pada perubahan jika mereka yang memegang kendali justru memberi contoh buruk?

    Dimulai dari Para Elit
    Pemimpin sejati adalah mereka yang tidak hanya bicara, tetapi bertindak sebagai teladan. Jika para pemimpin bersikap tegas terhadap korupsi, tidak kompromi, dan menunjukkan integritas, maka rakyat akan mengikuti. Sebaliknya, jika mereka menunjukkan celah, korupsi akan terus tumbuh subur di bawahnya. Di sinilah letak pentingnya keberanian untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Hukuman berat bagi para pelaku korupsi harus menjadi bukti bahwa keadilan masih hidup di negeri ini.

    Peran Penegak Hukum
    Penegak hukum memegang kunci penting. Institusi seperti KPK, kejaksaan, dan kepolisian harus menjadi benteng terakhir keadilan, bukan sekadar simbol kosong. Mereka harus bersih dari praktik suap, kolusi, dan nepotisme. Penegak hukum yang korup hanya akan memperkuat lingkaran setan korupsi, memperpanjang penderitaan rakyat.

    Budaya Baru yang Bersih
    Namun, perubahan tidak cukup hanya berhenti pada tindakan hukum. Kita perlu membangun budaya baru—budaya antikorupsi yang dimulai dari pendidikan. Anak-anak harus diajarkan sejak dini bahwa korupsi adalah musuh bersama. Transparansi di pemerintahan harus menjadi norma, bukan sekadar jargon. Teknologi seperti e-government juga bisa membantu meminimalkan celah-celah korupsi dengan memastikan semua transaksi dan proses birokrasi terekam secara digital dan dapat diaudit.

    Momentum untuk Bangkit
    Menghapus budaya korupsi memang bukan pekerjaan mudah. Tapi ini adalah tugas yang harus diemban oleh setiap lapisan masyarakat, dimulai dari mereka yang berada di atas. Para pemimpin harus menyadari bahwa mereka tidak hanya bertanggung jawab atas kebijakan, tetapi juga atas moral bangsa. Jika pemimpin bersih, hukum ditegakkan dengan adil, dan rakyat ikut mendukung, Indonesia bisa keluar dari belenggu korupsi.

    Indonesia memiliki segala potensi untuk menjadi bangsa besar—sumber daya alam yang melimpah, populasi muda yang kreatif, dan semangat gotong royong yang menjadi ciri khas. Tapi semua potensi ini hanya bisa terwujud jika kita berhasil membebaskan diri dari budaya korupsi. Karena tanpa integritas, pembangunan hanya akan menjadi ilusi yang terus menjauh.

    Inilah saatnya kita, sebagai bangsa, bersatu untuk mencabut akar-akar korupsi dari Bumi Indonesia. Dengan begitu, mimpi tentang Indonesia yang maju, adil, dan sejahtera bukan lagi sekadar angan-angan, melainkan sebuah kenyataan yang bisa kita wariskan kepada generasi mendatang.

    Jakarta, 27 Desember 2024
    Hendri Kampai
    Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi

    hendri kampai budaya korupsi pembangunan indonesia
    Updates.

    Updates.

    Artikel Sebelumnya

    Hendri Kampai: Jangan Mengaku Jurnalis Jika...

    Artikel Berikutnya

    Hendri Kampai: Pajak untuk Apa?

    Berita terkait